Sabtu, 28 Januari 2012

Carita keur ngajunjung basa sunda

Badan Kebudayaan PBB UNESCO baru-baru ini melansir, sekitar 90 persen dari 700-an bahasa ibu di Indonesia akan punah dalam waktu kurang dari 100 tahun. Banyak faktor yang memicu kepunahan itu, antara lain karena minimnya penggunaan bahasa ibu oleh generasi muda, baik di rumah maupun di sekolah. Inilah yang terjadi di kota Bogor, Jawa Barat, di mana banyak generasi muda yang tidak lagi berkomunikasi dalam bahasa daerah mereka, Sunda Bogor. Sejumlah guru dan seniman Bogor berupaya menyelamatkan Sunda Bogor dari kepunahan dan mengajarkan generasi muda untuk mencintai bahasa ibunya.
Bahasa Sunda Bogor Dihindari
Pagi itu, suasana riuh mewarnai kelas 9 SMP Negeri
3, Bogor, Jawa Barat. Para siswa tengah menonton film pendek yang dipantulkan layar proyektor ke papan tulis. Sesekali, acara menonton diselingi tawa saat pemeran dalam film melontarkan dialog lucu.
“Ada suami istri, istrinya banyak hutang, tapi suaminya kalo disuruh kerja tidak mau terus, nah, saat suaminya mau kerja, becaknya dijual sama istrinya buat biaya sekolah anak.”
Salah satu murid, Ersyad, dengan fasih bercerita tentang isi film.
“Mereka sampai berantem, lalu datang yang jual bebek, dia jual bebeknya ke suaminya, tapi kan lagi susah, dua-duanya lagi susah, kalau peribahasa Sunda (sili jenggut sili dugul) artinya minta bantuan ke orang susah.”
Pemutaran film ini adalah bagian dari pelajaran bahasa Sunda di sekolah. Pelajaran bahasa daerah memang telah menjadi kurikulum wajib sejak 1984. Guru bahasa Sunda SMPN3, Bogor, Asep Sudrajat.
“Kadang materi hanya sebuah kaset tanpa visualisasi, cuma audio, tapi kalau ada hal yang baru bagi anak, perhatian beda.”
(Jadi itu sebagai salah satu cara supaya menarik ya pak, karena kan anak remaja sekarang dekat dengan teknologi begitu pak?)
“Saya juga memancing anak untuk menyampaikan ide dalam kelompok.”
Asep juga mendorong siswanya membiasakan diri berbahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari.
“Saya paksa terus terang, bisa karena biasa, karena dipaksa dan terpaksa. Saya pernah memaksa anak, saya katakan kepada anak-anak di kelas, andaikata kalian ingin permisi ke belakang tanpa mengatakan dalam bahasa Sunda, lebih baik kalian pipis di dalam kelas, tapi sebelumnya saya beri tahu kalimat jika minta izin meninggalkan kelas, silakan hapalkan.”
Nantinya, kata Asep, sekolah juga akan mewajibkan anak-anak berbicara bahasa Sunda sehari dalam sepekan. Hal ini penting untuk melestarikan bahasa Sunda yang semakin lama semakin luntur di kalangan pelajar.
Data Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda di Bogor pada 2010 melansir, dari sekitar 200 ribu pelajar tingkat SMP hingga Perguruan Tinggi di Bogor, hanya 30 persennya yang masih menggunakan bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari. Sementara sisanya, lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia.
Salah satunya, murid kelas 9 SMPN3 Bogor, Yunita.
“Dari keluarga, nenek, ibu, bapak semua orang Sunda, asli Bogor.”
(Di rumah ngomong bahasa apa?)
“Di rumah ngomong bahasa Indonesia, kadang bahasa Sunda, dicampur saja, dari mama juga walaupun orang Sunda ngomong bahasa Indonesia.”
(Kenapa tidak coba ngomong bahasa Sunda ke teman sesama orang Sunda di sekolah?)
“Banyak yang tidak mengerti, susah dibanding bahasa Inggris, lebih banyak yang mengerti bahasa Inggris dibanding bahasa Sunda.”
Sebelum tahun 2000, buku pelajaran bahasa Sunda di Bogor mengacu kepada pelajaran bahasa Sunda di Bandung, yang mengenal tingkatan atau kasta bahasa. Asep Sudrajat mencoba menyederhanakan bahasa Sunda sehingga mudah dimengerti. Ia adalah Ketua Tim Penyusun Buku Pelajaran Bahasa Sunda tingkat SMP.
“Dulu, buku pelajaran bahasa Sunda, hanya Bandung-lah yang menerbitkan, akhirnya bahasa Sunda harus sesuai dengan ibukota Provinsinya, padahal bahasa Sunda di Bekasi, Bogor, Depok berbeda. Kami berembuk bagaimana caranya memudahkan siswa berkomunikasi bahasa Sunda, makanya buku yang dipergunakan lebih sederhana, tidak seperti buku yang dibuat di Bandung.”
Buku yang ditulis Asep Sudradjat itu dipakai oleh semua SMP se-Kota Bogor. Namun masih banyak remaja Bogor yang enggan memakai bahasa Sunda di sekolah. Ada anggapan, bahasa Sunda Bogor terdengar kasar, kata Ersyad, siswa SMPN3 Bogor.
“Kadang pakai bahasa Indonesia, kadang bahasa Sunda.”
(Kalau ngomong Sunda sama siapa?)
“Ngomong bahasa Sunda sama teman laki-laki karena bahasa Sunda Bogor dan Bandung beda, agak kasar, tidak enak kalau sama perempuan, mendingan sama laki-laki.”
Murid S MPN3 Bogor lainnya, Nala mengatakan, ia menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan orang tuanya di rumah, meski ia orang asli Sunda. Ada anggapan juga, kata Nala, jika berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa Sunda Priangan Timur, yang lebih halus.
(Kamu bisa bahasa Sunda?)
“Tidak terlalu, karena bahasa Sunda buat yang lebih tua dan muda kadang suka terbalik. Di rumah ngomong pakai bahasa Indonesia, lebih gampang, lebih simple. Susah banget dimengertinya, buat dibicarakan ke orang-orang yang lebih tua, tidak segampang buat ke teman.”
(Takutnya kalau ke yang lebih tua tersinggung?)
“Iya, karena orang tua terhormat, ngomong Sunda yang lemes, kalau teman tidak apa-apa.”
Tantangan juga datang dari semakin sedikitnya orang tua yang mengajarkan anak bahasa Sunda. Lingkungan yang heterogen menjadi salah satu alasan, kata Nyayu, ibu dua anak asli Sunda.
“Tetangga kami bervariasi, ada orang Batak, Minang, Bima, campur-campur. Nah, saat anak saya dalam kandungan, saya bingung harus bagaimana berbahasa di sini. Setelah konsultasi dengan suami, kalau pakai bahasa Sunda, takutnya anak tidak tahu konsep. Akhirnya dengan berat hati kita melaksanakan pendidikan anak dengan bahasa Indonesia.”
Budayawan Bogor Eman Sulaeman memperkirakan, dalam 5 tahun mendatang tidak akan ada lagi penutur bahasa Sunda Bogor. Padahal, dulunya Bogor merupakan pusat Kerajaan Sunda.
“Saya bukan menyalahkan orang tua, tapi orang Sunda sendiri, yang makannya ala Sunda, lalap, daun-daunan, sambel, tapi kenapa enggan bicara bahasa Sunda seadanya. Bahasa daerah Bogor ini memang kasar, biarkan saja berbahasa kasar, karena walaupun kasar tapi penuh asih, kasih sayang. Contohnya : Kemana wae atu sia teh… kalimat itu (terdengar) kasar, artinya ke mana saja kamu, katanya kamu mau pinjam uang, aku cari ke mana kamu tidak ada, sampai aku kehujanan.”
Menurut Eman, bahasa Sunda Bogor justru lebih merakyat karena lepas dari sejarah kekuasaan Mataram Jawa.
“Bogor itu tidak pernah terinjak Mataram, jadi tidak ada tingkatan undak usuk atau tingkatan bahasa, kepada pejabat harus begini harus lemes. Nah orang Sunda itu kan orang-orang pekebun atau pahuma, lalu petani, jadi memakai bahasa rakyat kebanyakan. Karena itu, sulit sekali orang  Bogor berucap dengan tingkatan-tingkatan.”








Melestarikan Sunda Bogor
Sejumlah anak muda usia SMA hingga mahasiswa berlatih teater di Gedung Kemuninggading, Bogor, Jawa Barat. Mereka adalah anggota kelompok Teater Obor Sakti, teater yang mengusung budaya dan kesenian tradisional Sunda di Bogor.
Pelestarian budaya Sunda jadi alasan Deden bergabung dalam teater ini.
“Motivasinya pertama ingin bermain teater, bersandiwara, berkesenian, melampiaskan hasrat seni saya dalam sebuah sanggar. Saya melihat Obor Sakti lebih mengentalkan tradisi bahasa dan budaya Sunda, saya tertarik karena saya orang Sunda asli, ingin melestarikan budaya Sunda khususnya.”
(Bisa menulis aksara Sunda?)
“Aksara Sunda sedikit-sedikit bisa, lekukannya memang susah dicerna karena sebuah lekukan saja bisa membedakan arti sebuah ucapan.”
Deden menyisihkan waktu 2 jam setiap harinya untuk berlatih teater. Latihan intensif ini demi mempersiapkan pagelaran lakon berbahasa Sunda dalam Festival Bandung, November mendatang.
Ayu adalah anggota termuda di Teater Obor Sakti. Usianya baru 16 tahun.
“Hobi dari kecil suka menari. Memang suka bahasa Sunda karena di lingkungan ngomong bahasa Sunda. Aku orang Sunda harus bisa bahasa Sunda, di keluarga juga bahasa Sunda. Cita-citaku pingin jadi koreografer seni tradisional Sunda.”
Teater Obor Sakti didirikan seniman dan budayawan Bogor pada 2003. Tujuannya merangkul kaum muda agar mencintai seni budaya tradisional Sunda. Saat ini anggotanya ada 30 orang yang berasal dari berbagai SMA dan universitas di Bogor. Penata Tari sekaligus Sutradara Teater Obor Sakti, Atang Supriyatna.
“Sangat efektif, karena pertama mereka harus enjoy dulu, daripada secara formal, karena bahasa Sunda Bogor ruang pakainya di mana? Di sekolah sudah tidak ada, di rumah tidak ada.”
Saat ini, dari 700-an bahasa daerah di Indonesia, hanya 9 bahasa saja yang punya sistem penulisan atau aksara, yakni bahasa Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Sunda, serta Bali, Bugis dan Sasak. Pengamat bahasa Hasan Alwi mengatakan, pemerintah harus segera mendokumentasikan kosakata bahasa daerah dalam bentuk kamus dan membuat daftar tata bahasa.
“Jumlah bahasa makin ke timur makin banyak, tapi berbanding terbalik dengan jumlah penutur. Ada peneliti dari Belanda yang melakukan penelitian bahasa daerah di Kepala Burung, Irian, dia menjumpai satu bahasa yang penuturnya hanya 3 orang. Apa yang dapat kita harapkan dari bahasa yang jumlah penuturnya kecil, apalagi yang tidak didukung tingkat keberaksaraan (tidak punya budaya tulis) ya makin lama makin terpojok, pasti akan menemui ajal.”
Hasan Alwi menambahkan, untuk melestarikan bahasa ibu yang mempunyai sistem aksara, anak harus diberi kebebasan berekpresi dengan bahasa daerahnya.
“Harusnya biarkan saja, tidak usah diajarkan bahasa kasar atau halus, biarkan anak bicara bahasa Sunda, Jawa atau bahasa lain, jangan disalahkan. Anak mundur teratur dan memilih menggunakan bahasa Indonesia, itu sebagai pelarian, karena ketika mereka menggunakan bahasa daerah dan tidak tepat, dikatakan salah, diomeli, dikatakan tidak tahu adat.”
Dengan begitu diharapkan muncul kesadaran anak muda melestarikan bahasa daerah, seperti Yunita dan Dinda dengan bahasa Sunda Bogor.
“Cita-citanya jadi Juru Kawih (sinden) cuma ingin go internasional, mengenalkan bahasa Sunda itu baik ke lebih banyak orang”, kata Dinda.
“Karena sudah tradisi, orang luar negeri ke Bogor pingin belajar bahasa Sunda. Tapi orang Sunda sendiri malu ngomong bahasa Sunda. Harusnya Sunda itu jadi bahasa internasional boleh ya, selain Inggris. Kita juga tidak mau bahasa Sunda dibilang kampong”, sambung Yunita.
trims4: KBR68H[dot]com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar